Kasus HIV-AIDS hingga kini masih terus berkembang. Berdasarkan data UNAIDS tahun 2018, diperkirakan sebanyak 37,9 juta orang di dunia mengidap HIV dengan kasus kematian karena AIDS berjumlah sekitar 770.000 jiwa. Jumlah kasus terbanyak berada pada benua Afrika dengan jumlah kasus 25,7 juta jiwa, diikuti oleh kawasan Asia Tenggara dengan jumlah 33,8 juta jiwa, dan Amerika Utara dengan 3,5 juta jiwa. Wilayah dengan jumlah kasus HIV terendah ada pada wilayah Pasifik Barat sebanyak 1,9 juta jiwa. Dengan Asia Tenggara menempati kasus HIV-AIDS terbanyak di dunia, hal ini mengharuskan Indonesia untuk lebih membuka mata akan penyebaran virus HIV.
Gambaran Kasus HIV-AIDS di Indonesia
Sejak pertama kali kasus HIV-AIDS ditemukan di Indonesia pertama kali di tahun 1987, jumlah kasus hingga kini masih terus meningkat meskipun cenderung fluktuatif. Dilansir dari Pusdatin Kemenkes, jumlah kasus HIV-AIDS di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, dengan sebanyak 50.282 kasus. Sementara untuk kasus AIDS tercatat menurun dari tahun sebelumnya dengan jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun 2013 sebanyak 12.214 kasus.
Angka ini masih terus tumbuh, baik dari pola penyebaran maupun dari sisi wilayah. Dua dekade lalu, penyebaran virus HIV ada pada beberapa wilayah saja, namun kini penyebaran sudah terjadi di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan data Ditjen P2P yang bersumber dari SIstem Informasi HIV, AIDS, dan IMS tahun 2019, provinsi dengan jumlah kasus penularan HIV terbanyak adalah Jawa Timur sebanyak 8.935 kasus, diikuti oleh DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Papua. Lima provinsi tersebut juga tercatat memiliki kasus HIV terbanyak pada tahun 2017. Sedangkan untuk kasus AIDS terbanyak berada di Jawa Tengah, diikuti Papua dan Jawa Timur. Kasus AIDS di Jawa Tengah mengambil bagian 22 % dari jumlah total kasus AIDS di Indonesia. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa tren kasus HIV-AIDS berfokus di sebagian besar wilayah pulau Jawa.
Dari sisi pola penyebaran, kini HIV tidak hanya menyasar kelompok populasi yang berisiko tinggi tetapi juga juga menyebar kepada kelompok populasi berisiko rendah. Jika pada mulanya HIV hanya menginfeksi kelompok masyarakat berumur di atas 30 tahun, kini, sudah ada kelompok anak-anak yang terinfeksi HIV. Berdasarkan data Ditjen P2P, kelompok masyarakat yang berusia di bawah 18 tahun berjumlah, kurang lebih, 6% dari jumlah total kasus HIV di Indonesia berdasarkan umur. Kelompok dengan rentang usia 25-49 tahun atau usia produktif merupakan kelompok umur dengan jumlah penderita HIV terbanyak setiap tahunnya.
Berdasarkan jenis kelamin, kasus HIV tercatat terjadi lebih banyak di kalangan laki-laki. Pada tahun 2019, sebanyak 64,50% kasus HIV di Indonesia adalah laki-laki dan sebanyak 35,50% adalah perempuan. Seolah berkaca pada kasus HIV, kasus AIDS terbanyak juga berada pada kelompok laki-laki dengan jumlah kasus sebanyak 68,80%. Data ini masih sama dengan jumlah kasus HIV-AIDS berdasarkan jenis kelamin satu dekade yang lalu. Satu dekade yang lalu, proporsi kasus HIV-AIDS pada laki-laki mencapai 78% dan pada perempuan sekitar 21%.
Jika dilihat dari faktor risiko, kelompok homoseksual dan biseksual pada awalnya merupakan kelompok yang memiliki faktor risiko yang besar. Namun, berdasarkan data persentase kasus HIV-AIDS menurut faktor risiko tahun 2019 menyebutkan bahwa kelompok dengan faktor risiko terbesar adalah kelompok heteroseksual dengan jumlah persentase sebesar 70%. Hal ini terjadi akibat meningkatnya jumlah penularan virus HIV melalui penggunaan jarum suntik secara bergantian meningkatnya penularan perinatal, atau penularan dari ibu hamil ke anak yang dikandungnya.
Meski secara fluktuatif jumlah kasus HIV-AIDS di Indonesia cenderung meningkat, data menunjukkan bahwa sejak tahun 20015 hingga tahun 2019, jumlah Case Fatality Rate (CSR) cenderung terus mengalami penurunan. CSR sendiri merupakan jumlah tingkat kematian akibat penyakit tertentu yang disajikan dalam bentuk persen. Terlihat bahwa di tahun 2019, kematian akibat HIV-AIDS hanya berjumlah 0,59% dari jumlah total kasus di Indonesia. Angka ini menurun dari tahun 2018 yang menunjukkan angka sebesar 1,03%. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengobatan dan perawatan pasien dengan HIV-AIDS di Indonesia telah berhasil menurunkan angka kematian akibat AIDS.
Faktor yang Menyebabkan Peningkatan Jumlah Kasus HIV-AIDS
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan jumlah kasus HIV-AIDS. Salah satu faktor terbesar adalah maraknya penggunaan narkoba. Merebaknya kasus narkotika dan obat-obatan terlarang menyebabkan jumlah kasus HIV-AIDS di Indonesia semakin meningkat. Selama jumlah penggunaan obat-obatan terlarang, khusus narkoba yang menggunakan jarum suntik, meningkat dan tidak terkontrol maka jumlah penduduk yang terinfeksi pun akan terus semakin meningkat.
Faktor besar lainnya adalah kurangnya pengetahuan masyarakat akan HIV-AIDS. Ketidaktahuan masyarakat menjadi penyumbang terbesar dalam peningkatan kasus HIV-AIDS. HIngga kini, masih ada kelompok masyarakat yang masih belum mengetahui bagaimana virus HIV menular sehingga mereka tidak memiliki kewaspadaan akan virus HIV. Selain itu, maraknya mitos-mitos akan HIV-AIDS memunculkan miskonsepsi HIV-AIDS dan membuat masyarakat tidak bisa memilah informasi terkait HIV-AIDS dengan baik sehingga penularan HIV pun terus terjadi.
Tes HIV Membantu Mengurangi Penyebaran HIV dan Mengurangi Jumlah Kematian Akibat AIDS
Tes HIV merupakan salah satu langkah awal dalam upaya mengurangi penyebaran virus HIV dan jumlah kematian yang disebabkan oleh AIDS. Berdasarkan data SIHA tahun 2013-2019, menunjukkan bahwa jumlah orang yang melakukan tes HIV mengalami peningkatan. Pada tahun 2019, jumlah pemeriksaan HIV berjumlah 4.064.812 pemeriksaan dan 50.282 di antaranya merupakan HIV Positif. Terlihat bahwa semakin banyak jumlah pemeriksaan HIV, semakin banyak pula hasil yang menunjukkan HIV positif. Hal ini tidak sepenuhnya buruk karena semakin banyak yang mengetahui status HIV masing-masing, maka semakin cepat pula penanganan dan tindakan yang dilakukan sehingga penularan HIV di masyarakat bisa terkontrol dan kematian akibat AIDS pun bisa terhindari.
Mengingat bahwa penularan HIV di Indonesia masih meningkat, maka diperlukan kepedulian dari berbagai pihak untuk secara proaktif melakukan tindakan pencegahan, khususnya melakukan penyebaran informasi dan edukasi kepada masyarakat. Penyebaran informasi sangat efektif meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan akan virus HIV sehingga penularan bisa dicegah.