Sejak virus HIV ditemukan pada tahun 1980-an, jutaan perempuan di belahan dunia telah terdampak wabah HIV-AIDS. Hingga kini, masih banyak perempuan yang meninggal akibat AIDS, khususnya kelompok perempuan berumur 15 hingga 49 tahun. Perempuan muda berumur 15 hingga 24 tahun, hingga anak-anak perempuan berumur 10 hingga 19 tahun, pun rentan terinfeksi virus HIV. Pada tahun 2017, sekitar 340 ribu perempuan muda terinfeksi virus HIV. Angka ini lebih tinggi daripada jumlah angka infeksi HIV di kalangan laki-laki muda. Di wilayah Sub-Sahara Afrika sendiri, 79% kasus infeksi HIV baru terjadi pada anak-anak perempuan berumur 10-19 dan diperkirakan 50 perempuan meninggal karena AIDS setiap harinya.
Situasi perempuan dengan HIV-AIDS saat ini
Jumlah perempuan dengan HIV terus semakin meningkat setiap tahunnya. Di Indonesia saat ini, persentase perempuan pengidap HIV-AIDS berjumlah 35,50 persen dari total jumlah HIV di Indonesia. Rata-rata perempuan pengidap HIV di Indonesia merupakan pekerja seks dan ibu rumah tangga. Hal ini diakibatkan karena banyaknya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual berisiko yang kemudian menularkan virus HIV pada pasangannya. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa permasalahan perempuan dengan HIV-AIDS tidak terlepas dari sistem patriarki dan diskriminasi gender. Ketimpangan kuasa antara laki-laki dan perempuan menyebabkan posisi perempuan, khususnya perempuan dengan HIV, rentan mengalami kekerasan.
Sistem patriarki yang sudah mendarah daging di masyarakat merupakan faktor penyebab sulitnya perempuan mendapatkan hak-hak kesehatan reproduksi yang layak karena patriarki menabukan seksualitas dan sistem reproduksi perempuan. Oleh karenanya, perempuan kesulitan untuk mendapatkan informasi yang layak seputar kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk di dalamnya informasi seputar HIV. Hal seperti inilah yang menyebabkan banyaknya kasus HIV-AIDS di kelompok ibu rumah tangga. Tidak hanya itu, perempuan dengan HIV pun pada akhirnya harus menanggung stigma dari masyarakat dan pengucilan di daerah tempat mereka tinggal. Hal ini tentunya akan menyebabkan melonjaknya angka kematian perempuan akibat AIDS karena banyak dari mereka yang tidak mendapatkan pengobatan dan penanganan HIV yang layak.
Akses Kesehatan yang Buruk
Selain masalah sosial, hal lain yang harus dihadapi oleh perempuan dengan HIV-AIDS adalah buruknya fasilitas kesehatan. Di berbagai negara, masih banyak perempuan dan anak yang memiliki hambatan dalam mengakses layanan kesehatan yang layak dan tidak mendiskriminasi. Pada kenyataannya, masih banyak tenaga kesehatan di berbagai negara yang melakukan tindakan diskriminasi gender terhadap perempuan sehingga tak jarang dilakukan penindakan tanpa persetujuan seperti sterilisasi paksa, pemeriksaan keperawanan secara paksa, hingga aborsi paksa. Tidak hanya itu, miskonsepsi terhadap HIV-AIDS masih mengakar di lingkungan tenaga kesehatan sehingga sosialisasi dan edukasi mengenai HIV-AIDS kepada masyarakat tidak berjalan atau bahkan menimbulkan miskonsepsi baru. Akibatnya, pemahaman masyarakat mengenai HIV-AIDS menjadi sangat rendah sehingga masyarakat, terutama kaum perempuan, tidak dapat menjaga kesehatan seksual dan reproduksi mereka.
Tingginya angka kemiskinan
Kemiskinan adalah faktor terbesar penyebab perempuan rentan terpapar HIV-AIDS. Kelompok miskin cenderung kesulitan untuk mendapatkan edukasi dan akses kesehatan yang layak. Ditambah lagi dengan banyaknya kaum perempuan yang terjun ke dunia prostitusi untuk bertahan hidup. Tidak adanya perhatian dari pemerintah menyebabkan pekerja seks berisiko sangat tinggi terhadap paparan HIV. Selain itu, stigma terhadap pekerja seks pun membuat kelompok pekerja seks enggan memeriksakan kesehatan mereka di fasilitas kesehatan dan enggan membuka status HIV positif mereka. Hal ini juga yang menyebabkan mereka rentan mengalami eksploitasi seksual sehingga meningkatkan tingkat risiko terpapar HIV mereka.
Selain terjun ke dunia prostitusi, banyak perempuan miskin juga yang pada akhirnya dinikahkan secara dini. Perempuan yang menikah ketika usia sangat muda sangat mudah mengalami kekerasan dari pasangan mereka. Selain itu, perempuan yang menikah di usia sangat muda pun biasanya terputus dari dunia sekolah sehingga tidak mendapatkan pengetahuan mengenai hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi sehingga meningkatkan risiko terpapar HIV.
Langkah tepat yang harus diambil
Untuk mengetahui dampak HIV pada perempuan, khususnya pada perempuan muda, dibutuhkan perspektif perempuan dari berbagai identitas dalam penyusunan pendekatan yang digunakan untuk menangani wabah HIV. Seperti yang direkomendasikan WHO, pendekatan tersebut harus didukung oleh dua prinsip; prinsip hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan gender. Keduanya merupakan hal terpenting yang harus dijadikan sebagai prinsip dasar dalam strategi penanganan wabah HIV-AIDS di masyarakat.