Bulan Januari 2021 lalu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat telah menyetujui penggunaan Cabenuva, atau obat HIV yang menggunakan metode suntik. Cabenuva dipercaya sebagai inovasi besar dalam sejarah pengobatan HIV karena hanya membutuhkan satu kali suntik untuk pengobatan satu bulan. Cabenuva merupakan obat HIV suntik pertama yang diizinkan oleh FDA. Hal ini merupakan kabar baik karena dengan adanya Cabenuva, orang dengan HIV tidak perlu mengonsumsi pil ARV setiap hari.
Kepala ViiV Healthace bagian Amerika Utara, Lynn Baxter, mengatakan bahwa Cabenuva merupakan perubahan besar dalam pengobatan pasien HIV dengan memberikan pendekatan perawatan yang berbeda. Cavenuva mampu mengurangi dosis pengobatan dari 365 hari menjadi 12 hari pertahun.
Persetujuan FDA atas penggunaan Cabenuva berdasarkan penelitan ATLAS (Antiretroviral Therapy as Long-Acing Supression) dan FLAIR (First Long-Acting Injetable Regimen) fase III yang telah dilakukan dengan sampel sebanya 1.100 pasien dari 16 negara dengan latar belakang identitas yang berbeda. Dalam penelitian ini, Cabenuva ditemukan efektif dalam menekan viral load. Selain aman digunakan, penemuan ini juga yang membuat FDA akhirnya menyetujui penggunaan Cabenuva sebagai bagian dari pengobatan HIV.
Bagaimana Cabenuva bekerja?
Cabenuva dikembangkan oleh perusahaan farmasi, ViiV Healthcare dan telah disetujui oleh FDA pada awal tahun 2021. Di saat yang bersamaan, FDA juga menyetujui penggunaan Vocabria, yang merupakan bentuk tablet dari cabotegravir milik ViiV. Selain itu, sebelumnya sudah dikembangkan juga bentuk pil dari rilpivirine (Edurant) yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi Janssen. Keduanya merupakan obat yang harus dikonsumsi setiap hari dalam satu bulan sebelum ODHIV memulai pengobatan menggunakan Cabenuva. Hal ini adalah cara untuk melihat tingkat toleransi pasien dan untuk memastikan pasien tidak memiliki reaksi gejala apa pun sebelum memulai Cabenuva. Jika pasien terbukti tidak memiliki gejala berat apa pun, maka pasien akan diberi Dosis lanjutan berupa suntikan Cabenuva yang diberikan sebanyak satu kali dalam satu bulan.
Seberapa Efektif Cabenuva?
Efektivitas pengobatan menggunakan Cabenuva mencapai 95 persen. Berdasarkan uji klinis yang dilakukan menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang memiliki viral load yang tetap tidak terdeteksi, entah itu mereka yang mengonsumsi pil ARV maupun yang menggunakan Cabenuva. Sebagian dari mereka mengalami gejala pasca disuntik. Meski begitu, gejala tersebut dianggap ringan dan tidak akan mengganggu aktivitas sehari-hari.
Meski dosis Cabenuva yang disetujui sebanyak satu dosis dalam satu bulan, namun sempat diusulkan kembali untuk mengubah dosis menjadi dua kali dalam sebulan. Namun, berdasarkan uji klinis, orang-orang yang mengambil dosis dua kali dalam sebulan terbukti tidak memiliki perbedaan yang signifikan daripada mereka yang mengambil dosis satu kali sebulan.
Dengan dosis satu kali sebulan, Cabenuva merupakan langkah yang efisien bagi ODHIV. Cabenuva juga memberikan kebebasan yang lebih besar bagi ODHIV untuk melakukan kegiatan sehari-hari tanpa perlu khawatir akan konsumsi obat ARV setiap harinya.
Kemungkinan Efek Samping yang Ditemui
Cabenuva memiliki kemungkinan menyebabkan beberapa efek samping. Berikut beberapa kemungkinan efek samping yang dapat muncul ketika dalam pengobatan Cabenuva.
Reaksi Alergi
Terdapat pasien yang memiliki alergi terhadap kandungan obat yang ada dalam Cabenuva. Pasien-pasien yang mengalami gejala alergi di bawah ini disarankan untuk menghentikan pengobatan Cabenuva dan hubungi dokter dan tenaga kesehatan:
– Demam
– Tidak enak badan
– Letih
– Nyeri sendi atau otot
– Kesulitan bernafas
– Mata merah atau bengkak
– Nyeri di dalam mulut
– Wajah bengkak
Reaksi Pasca Suntikan
Reaksi pasca suntikan terjadi beberapa menit setelah pasien menerima suntikan mereka. Namun, kebanyakan gejala hilang beberapa menit kemudian. Gejala-gejala tersebut antara lain:
– Kesuitan bernafas
– Kram perut
– Berkeringat
– Perasaan kebas di mulut
– Gelisah
– Merasa panas
– Kunang-kunang
– Perubahan tekanan darah
Gejala Lainnya
Kelompok orang yang memiliki riwayat penyakit hepatitis B atau C atau orang yang memiliki kondisi kesehatan tertentu memiliki kemungkinan meningkatkan risiko mengalami kembali atau memperburuk kondisi hati mereka. Penyakit liver juga ditemui di orang-orang yang tidak memiliki riwayat penyakit liver.
Selain itu, perubahan mood dan depresi juga ditemukan di sebagian kecil pasien. Gejala yang dialami seperti merasa sedih atau tidak bergairah, gelisah, dan pikiran bunuh diri.
Hingga kini, Cabenuva sudah dapat diakses dan tersedia di beberapa negara. Di Indonesia sendiri Cabenuva belum masuk, namun sedang diupayakan untuk didistribusikan di Indonesia karena Cabenuva ini bisa menjadi alternatif pengobatan yang lebih efisein bagi ODHA di Indonesia.